insyaAllah ini akan menjadi sebuah novel :p
haaha...baco baelah biar dak penasaran....eh, tapi ini cerita masih bersambung2...jadi mungkin walau kalian baca, kalian bakal tetep penasaran... yasudahlah sesuka kalian aja, mau dibaca jg nggak papa nggak dibaca jg boleh
kita biasa-biasa ajaa kalee :DD
kalo dah baca nantikan saja lanjutannya okey :D
oiyaa, selain itu kalo mau ngasi kritik & saran jg boleh :D
1. Tak Seharusnya
#Violin Sonata No.5 Opus 24 “Spring”#
Aku tidak mengerti. Kenapa musik seindah ini harus dimainkan di tempat terpencil dan tersembunyi seperti ini. Biola. Sejak dulu aku sudah terpesona pada alat musik itu, ayahku Surya Setiawan pemain biola yang cukup terkenal dan mengajar di sekolah musik Ralp Art School. di waktu senggang, aku diperbolehkan untuk main ke sekolah ini. Dan kesempatan itu selalu kugunakan dengan baik. Mendengar permainan biola ayah tidak cukup di rumah saja. Aku selalu ingin mendengar permainan biola ayah, ataupun anak murid ayah lainnya. Karena itu, tidak heran jika aku sudah mengetahui bagaimana permainan biola yang berkelas dan permainan biola yang ‘biasa’ saja. Ayah mengajariku banyak hal. Permainan Ayah begitu berkelas dan sayangnya permainanku jauh dari itu, alias ‘biasa’ saja. Sejak kecil, ayah tidak pernah memaksakan bakat bermusikku. Pada biola khususnya. Aku yang sudah bersusah payah, terus-terusan berlatih juga sudah lelah dengan permainanku yang terus-terusan ‘biasa’ memutuskan untuk tidak memperdalam biola. Dan karena itu, tentu saja aku memilih untuk bersekolah di sekolah biasa dan bukan di sekolah musik apalagi RAS. Aku hanya bisa menjalani hidupku hanya untuk mendengar musik. Sebuah ironi memang. Ini seperti lelaki yang hanya bisa memandangi wanita yang dicintainya, tanpa bisa mendekatinya bahkan menyentuh hatinya. Ya, biola itu seperti wanita yang tidak bisa ku sentuh hatinya, yang tidak bisa kumiliki. Meskipun begitu, menurutku cinta yang hanya bisa memandang dari kejauhan itu juga tidak begitu buruk.
Spring masih mengalun dan masih membuatku terhanyut. Siapa gerangan yang memainkan ini, aku juga tidak peduli. Karena dilihat dari lokasi orang ini memainkannya, sangat jelas bahwa dia tidak ingin ketahuan sedang memainkan biola. Aku juga sebenarnya heran, tapi aku hanya ingin mendengarkan spring ini. Jika aku mengikuti rasa penasaranku dan menyelidiki siapa orang yang memainkannya, menurutku, mungkin orang itu akan bergegas mencari tempat persembunyian lain yang lebih tersembunyi. Aku hanya ingin mendengarnya, bukan mengusiknya. Karena itu, aku lebih suka terhanyut dalam permainan biolanya daripada mencari tahu siapa yang memainkannya.
Tempat ini, bisa dibilang sebagai pojok terlupakan dari sekolah ini. Salah satu gedung tua yang dulunya dipakai oleh anak-anak dari jurusan gitar. Tapi terjadi kebakaran di gedung ini, anak-anak jurusan gitar pindah ke gedung lain dan gedung ini masih begini. Terpencil dan terlupakan. Karena bekas kebakaran, memang gedung ini tampak mengerikan. Walaupun sebenarnya tidak ada korban dalam peristiwa itu. Tapi karena wilayah ini cukup sepi dan bekas kebakaran begitu menyeramkan. Persis seperti gedung angker di film-film. Yang bisa membuatku duduk di sini tak lain adalah permainan biola itu. Yang selalu berhenti pada pukul 15.00 siang. Begitu permainanya berhenti, aku selalu bersembunyi di bawah tangga. Jelas yang memaikannya bukan hantu, karena aku bisa mendengar langkahnya ketika dia melewati tangga, menuju pintu dan juga ketika dia membuka pintu lalu keluar. Pernah aku yang penasaran menjulurkan kepalaku dari bawah tangga, sekilas aku melihat pemain biola itu dari belakang. Anak itu lelaki yang sebaya denganku. Rambutnya yang agak panjang dibiarkan berantakan, memakai pakaian ala Sherlock Holmes, dan berjalan membawa biola dengan tegap. Mungkin waktu itu dia merasakan kehadiranku, dan menoleh. Untung aku cepat-cepat mengembalikan kepalaku ke bawah tangga. Dan dengan pasti, aku berhasil menirukan suara kucing dengan sukses. Orang itu kembali berjalan keluar dari gedung ini.
Aku yang selalu hidup dalam perbincangan orang karena sama sekali tidak memiliki darah seni, padahal jelas aku lahir dari keluarga seniman hanya bisa diam dan mendengar. Untungnya aku tidak pernah bosan ataupun lelah untuk mendengar. Kurasa, memang hidupku hanya untuk ini. Mendengar perbincangan orang yang tidak mengenakkan tentangku dan juga mendengar musik yang semasekali tidak dapat kusentuh. Hanya bisa kudengarkan. Mendengar musik memang menjadi hiburan bagiku, tapi saat aku menyadari diriku yang begitu malang dan tak bisa mendapatkan sedikitpun bakat untuk memainkan musik, kadang aku merasa jadi sangat membenci musik, dan juga membenci diriku sendiri. Aku yang mati-matian mencintai musik, tapi musik yang bahkan seolah tidak ingin menoleh ke arahku, membuatku benar-benar muak. Tapi aku masih mencintainya, membuatku semakin muak. Aku ingat perkataan ayahku. Ketika aku mengatakan ingin berhenti latihan biola.
“Suatu hari nanti, kau akan memegang biola, dan tak ingin melepasnya lagi. itulah saatnya kau dan biola bisa berpadu. Saat itulah kau bisa bersatu dengan biola anakku,” dia membelai-belai kepalaku penuh pengertian. Senyumnya tulus dan tidak sedikitpun terdengar pemaksaan dari nada bicaranya. Walau aku melihat sekilas raut kekecewaan ketika dia berpaling.
Kadang, mendengar permainan biola membuatku tenang dan kadang membuat nafasku sesak. Mengingat kasih sayang ayah padaku, sekaligus rasa kecewa yang berusaha disembunyikannya. Dan ketika mendengar permainan Spring anak misterius itu, aku tenang. Karena itu, aku tidak pernah bosan mendengarnya. Bagaikan melayang-layang di taman yang penuh bunga. Seperti anak-anak memang, tapi itulah yang kurasakan. Semua pikiran yang membebaniku lenyap. Anak misterius itu sudah macam pahlawan bagiku. Aku jadi benar-benar penasaran pada anak itu. Rasa penasaran yang selalu bisa kubuang jauh-jauh, kini menghampiri dan menggodaku. Ini sudah pasti. Aku akan keluar dari persembunyianku di bawah tangga besok, aku akan berguru padanya. Aku tahu, aku tidak memiliki bakat seni walau hanya sedikit. Dan itu tidak perlu diingatkan lagi. Tapi aku merasa hanya anak misterius itu yang bisa mengajariku. Aku merasa begitu. Karena itu, besok adalah saatnya. Itu pasti.
Seperti biasa, pulang sekolah aku ke RAS. begitu sampai, aku langsung turun dari mobil dan berlari walau agak susah karena harus membawa peralatan biolaku yang sudah lama hanya tersimpan di galeri ayah. Mang Dim supir keluarga kami heran karena tidak pernah melihatku membawa biola dengan se-semangat ini.
“Mau di bawa ke ruangan bapak ya den?”
“Biar saya sendiri mang. Mang Dim langsung pulang saja. Nanti saya pulang sama papa kayak biasa”
“oh, yasudah kalau begitu. Saya pulang ya den.”
“Oh iya, ini rahasia kita berdua mang. Jangan bilang sama siapa-siapa apalagi papa.”
Mang Dim yang tadi terlihat heran makin heran saja. Tanpa sempat melempar pertanyaan padaku, aku sudah berlari secepat kilat. Aku ingin lebih dulu tiba di gedung terlupakan sebelum anak misterius itu. Kali ini aku tidak boleh sembunyi. Semalaman aku tidak bisa tidur. Membayangkan bagaimana aku harus menemui anak itu. Memikirkan berbagai macam cara. Dan kurasa cara inilah yang terbaik. Ketika anak itu masuk ke dalam gedung terlupakan, aku akan menyambutnya dengan biola di tangan. Tersenyum berusaha seramah mungkin dan mulai mengajaknya berbincang tentang musik dan sebagainya lalu berujung pada curhatan yang memilukan tentang anak seorang violis yang tidak bisa main biola. Mungkin ini akan berhasil atau tidak. Tapi apa salahnya jika mencoba.
Aku tiba di gedung tua terlupakan itu, sesuai drencanaku. Anak misterius itu belum datang. Beruntung. Tak lama menunggu, terdengar langkah kaki menuju gedung ini. Pintu terbuka. Sang violis misterius muncul dan langsung memasuki gedung lalu menutup pintunya. Rupanya dia tidak merasakan keberadaanku. Ketika dia berbalik ke arahku, saat itulah pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang selama ini kukagumi. Anak itu, kulitnya putih mulus, matanya yang bulat membesar karena terkejut. Bahkan wadah biolanya terjatuh. Penampilannya jelas berantakan untuk seorang musisi hebat. Memakai tindikan hanya di salah satu telinga. Kemejanya sedikit keluar sama seperti waktu aku melihatnya sekilas dulu, gaya Sherlock Holmesnya juga masih melekat. Rambutnya yang agak panjang juga masih berantakan. Raut wajahnya benar-benar memperlihatkan keterkejutannya. Di jidatnya tertulis dengan jelas SIAPA KAU DAN SEDANG APA DISINI. Keadaan benar-benar tegang. Dia hanya mematung dan matanya masih membesar seperti melihat hantu.
“Engh…, hai” aku mulai mencoba untuk membuka pembicaraan. Dan di luar dugaan. Anak itu malah mengambil wadah biolanya yang terjatuh, berbalik dan lari keluar.
“Ah…, Hey!!! Tunggu!!!” Aku benar-benar panik dan tidak bisa berpikir lagi, langsung mengikutinya. Padahal aku bisa meninggalkan wadah biolaku jadi tidak perlu repot membawanya. Pasti aku bisa berlari kencang mengejarnya. Tapi, sudah kubilang. Aku yang panik tidak dapat berpikir. Anak itu juga tidak terlalu cepat larinya karena dia juga kesusahan membawa biola. Tapi bagaimanapun juga, dia jauh di depanku.
Gedung terdekat dari gerdung terlupakan adalah gedung jurusan vocal. Anak itu memasuki gedung itu. Dengan tergopoh-gopoh aku mengikutinya. Ketika memasuki gedung itu, terdapat banyak ruangan dan aku bingung anak itu masuk ke pintu mana. Anak-anak yang berlatih vocal hanya terdengar samar-sama karena ruangan latihannya dipasang peredam suara. Tapi siapa juga yang peduli dengan itu. Aku hanya ingin menemui violis misterius itu. Akhirnya aku memilih pintu yang terletak paling ujung alias dekat dengan pintu masuk gedung. Aku membukanya perlahan dan berhasil masuk tanpa ketahuan, karena ternyata ruangan ini begitu banyak orang. Tetapi orang-orang ini ternyata sedang focus pada satu titik. Atau bisa disebut satu orang. Sepersekian detik akupun seperti ikut terhanyut seperti semua orang dalam ruangan itu. Baru kali ini aku masuk bagian vocal dan langsung mendengarkan suara nan merdu dari Clarissa Imelda. Dia yang sudah disebut-sebut sebagai primadona di bagian vocal. Meskipun begitu, selama ini hanya namanya saja yang kudengar. Tapi belum pernah sama sekali kudengar suara aslinya. Ternyata seperti ini. Kupejamkan mataku. Waktu bagai berjalan lambat. Sekolah ini benar-benar menakjubkan. Clarissa selesai menyanyi dan aku bagai ditarik ke dunia nyata dengan lembut. Dalam sekejap saja aku bisa jatuh cinta pada perempuan itu.
“Bastian? Ada apa kamu ke sini?” Terdengar suara Papaku… tunggu dulu, PAPAKU???
“Pa…, Papa?” kini seisi ruangan kembali terfokus pada satu titik. Aku dan papaku. Papa terlihat kebingungan dan heran. Melihat ke arahku lalu ke arah biola di tangan ku. Wajahnya sumringah.
“Andika Bastian!!!”
“Ma… maaf pa,” aku tidak tahu lagi harus berkata apa.
“Untuk apa kamu minta maaf?” balasnya. Papaku seperti menyadari keadaan yang kurang mengenakkan. Seisi ruangan masih memperhatikan kami berdua.
“Sebaiknya kita bicara di tempat lain, baiklah aku pergi dulu kalau begitu.” Papa melambai pada pelatih vocal. Ibu Marini. Lalu merangkul dan mengajakku keluar ruangan itu.
(Bersambung…)